Jumat, 20 Juli 2012

REVITALISASI PANCASILA

nama    : adi nur dwi purwanto
nim       :111020100046
jurusan : teknik elektro sore (semester 2)
dosen pengampu :  Drs.Hadi Ismanto.M .Si                  













          REVITALISASI PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI 
                                     BANGSA INDONESIA



Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945 oleh para pendiri negara. Pancasila ini merupakan idiologi, falsafah dan pandangan hidup bangsa. Dengan demikian Pancasila merupakan sumber tata¬nan politik dan hukum untuk kehidupan pe¬me¬rintah dan masyarakat. Maria Farida Indrati S mengatakan bahwa Pancasila sebagai norma Fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dan sekaligus sebagai cita hukum merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi batang tubuh UUD 1945 sebagai aturan dasar Negara/ Aturan Pokok Negara (Verfassungnorm) serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Melihat hal di atas berarti Pancasila merupakan sarana mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menjaga harga diri bangsa. Pancasila juga merupakan alat pemersatu dan menjaga kemajemukan di antara suku- suku, agama, ras dan antar golongan.

Berarti dalam hal ini Pancasila merupakan alat untuk menjaga semangat kebangsaan (nasionalisme). Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah Pancasila masih ada? Pertanyaan ini layak diangkat permukaan sebab dalam kenyataannya jiwa dan semangat Pancasila dipinggirkan, sebab pelaksanaan Pancasila sebagai idiologi bangsa sangat minim.

Hal ini dapat dilihat dari praktek penyelenggaraan dan pengelolaan negara yang cenderung berpihak kepada kepentingan kaum pemodal (kapitalis) daripada kepentingan nasional (rakyat Indonesia). Hal ini disebabkan pengaruh negara-negara maju, sehingga tidak ada kedaulatan pemerintah Indonesia dalam menentukan arah kebijakan nasional khususnya kebijakan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam/ lingkungan hidup.

Keberpihakan pemerintah terhadap kaum pemodal (kapitalis) dilakukan melalui pembentukan produk hukum (Undang-Undang) yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan keuntunga bagi perusahaan korporasi atau Multinational Corporations (MNCs), tetapi di sisi lain merugikan rakyat, seperti lahirnya UU. UU. No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UUK) yang mempunyai andil terhadap kasus-kasus perampasan hutan adat dan perusakan sumber daya hutan, lahirnya UU. No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga merugikan rakyat karena kaum pemodal dengan mudah mendapatkan izin pertambangan dari pemerintah baik di atas tanah milik rakyat secara kolektif maupun individu tanpa adanya persetujuan (veto) dari rakyat selaku pemilik tanah atas wilayah pertambangan (pasal 9 ayat (2) dan pasal 10 huruf b UU. No. 4/2009).

Hal inilah yang melatarbelakangi beberapa organisasi masyarakat sipil dan individu/ Perorangan seperti WALHI, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Nur Wenda, Paulus Wangor, dan lain-lain mengajukan permohonan Uji Materi UU. No. 4 /2009 ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 karena menganggap Undang-Undang itu bertentangan dengan hak-hak Konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas harta benda, hak milik, hak atas kepastian hukum, hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat, dll.

Sampai saat ini Uji Materi UU. No. 4 /2009 belum putus, padahal permohonan uji materi diajukan pada tahun 2010, dan proses sidang berakhir pada bulan Maret 2011. Masih banyak lagi produk hukum yang cenderung berpihak kepada kepentingan kaum pemodal (kapitalis).

Dalam perspektif ekonomi politik, sistem seperti ini dinamakan dengan Sistem ekonomi neo-liberalisme yaitu penjajahan baru negara-negara maju terhadap negara berkembang dan negara miskin (negara dunia ketiga). Hal ini jelas bertentangan dengan jiwa Pancasila.

Jika melihat hal di atas, jelas pengaruh ekonomi global ini mengakibatkan bergesernya fungsi negara untuk melindungi dan mensejaterahkan rakyatnya menjadi sebagai pelindung dan pengayom kaum pemodal, utamanya investor asing. Permasalahan ini menunjukkan bahwa negara terutama pemerintah mengabaikan kewajibannya untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejateraan masyarakat sebagaimana amanat Pancasila dan UUD 1945.